:::: MENU ::::

Sebuah blog yang berisi karya absurd dari seorang maestro yang gagal lolos ke BBM2k17

  • Ngobrolin DAK yukk?! KLIK DISINI

  • Inspirasi bikin foto yang unik dan nyeleneh?? Klik Disinii!!

  • PERUSAHAAN YANG DIHUJAT SETELAH GANTI LOGO, Klik disini!!

Jumat, 16 Oktober 2015

Adat kebudayaan yang beraneka ragam di Indonesia khusunya yang ada di kabupaten Bojonegoro memang sangat beragam, diantara ragam tradisi itu masih ada  tradisi atau adat kebudayaan yang masih lestari di desa atau perkampungan, apalagi di daerah desa yang ikatan tradisi dan adat nya masih kental. Tradisi sedekah bumi (manganan) atau ada juga yang menyebutnya dengan nyadran yang pelaksanaannya di setiap desa berbeda, ada desa yang menyelenggarakan manganan dengan corak nenek moyang yang dahulu menganut kepercayaan Animisme dan Dinamisme ada juga yang menyelenggarakan dengan corak Islami atau dengan hasil akulturasi antara kebudayaan nenek moyang dengan ajaran Islam, manganan yang dilaksanakan dengan corak asli dilakukan dengan menggunakan sesaji sedangkan manganan yang dilakukan dengan cara Islami biasanya disisipi pengajian. Dalam artikel ini akan dibahas bagaimana sedekah bumi (manganan) sebagai tradisi peninggalan nenek moyang di tengah-tengah keadaan masyarakat modern nan kritis ini dan juga bagaimana perkembangan tradisi sedekah bumi (manganan) sebagai tradisi yang masih melekat di masyarakat Bojonegoro ini.

Para Ibu Yang Sibuk Tengah Mempersiapkan Jajanan Sedekah Bumi. Courtesy : http://blokbojonegoro.com

Sejarah tradisi manganan ini berasal dari generasi terdahulu, khususnya masyarakat petani yang bersyukur atas hasil panen. Ciri khas perayaan manganan adalah umumnya diadakan di tempat yang dianggap keramat. Tujuan dari pelaksanaan tradisi manganan adalah mengucapkan syukur atas karunia Tuhan dari hasil panen, memohon agar desanya terhindar dari bencana dan penyakit dan memohon agar panen selanjutnya melimpah. Tetapi karena saat ini mayoritas masyarakat menganut agama Islam yang melarang menyembah tuhan selain Allah S.W.T, jadi sekarang tradisi manganan disisipi panjatan do’a kepada Allah S.W.T, karena diyakini bahwa nenek moyang dulu masih menganut Animisme dan Dinamisme. Tetapi kebanyakan desa di Bojonegoro masih menyelenggarakan manganan seperti yang nenek moyang dahulu yaitu dengan mengucap mantra-mantra dan memberi sesaji. Masyarakat desa berdalih karena untuk melestarikan tradisi persis dengan nenek moyang terdahulu agar tradisi tersebut tidak luntur. Hal itulah yang membuat banyak orang, khususnya orang yang paham dengan ilmu agama meragukan tradisi manganan sebagai tradisi yang masih harus dilestarikan khususnya di daerah Bojonegoro ini, karena tentu saja hal tersebut bertentangan dengan ajaran Islam yang mengajarkan bahwa hanya Allah S.W.T sebagai tuhan yang patut disembah tetapi melakukan manganan dengan menggunakan sesaji yang ditaruh di tempat keramat sama saja mempersekutukan Allah.
            Penyelenggaraan manganan di suatu desa berbeda dengan desa yang lain meskipun dengan tujuan yang sama, sebagai contoh : manganan di desa A dilakukan di tempat yang dianggap keramat atau memiliki kekuatan magis seperti kuburan, sumur tua, sendang, pohon tua, dll dengan menaruh sesaji yang diletakkan di tempat tersebut lalu ada tokoh desa yang memimpin ritual biasanya dengan mengucap mantra dalam bahasa daerah yang bermakna memohon keselamatan desa dan keberkahan bagi desa, setelah itu akan diadakan pagelaran wayang atau pementasan tari tayub, sedangkan pelaksanaan manganan di desa B dilakukan di musholla atau masjid, di tengah-tengah ritual manganan di desa ini masyarakat membaca doa-doa syukur kepada Allah. Dengan ilustrasi sederhana tersebut, dapat dilihat perbedaan dalam pelaksanaan tradisi manganan ini walaupun sebenarnya kedua masyarakat desa itu memiliki kesamaan budaya, kepercayaan dan berada dalam satu daerah, lalu apakah yang menyebabkan perbedaan tata pelaksanaan ritual manganan ?. Jika diselidiki dari tradisi manganan di masa lampau dan perkembangannya, sebenarnya peran wali songo yang menyebabkan perbedaan pelaksaan tradisi manganan, wali songo menyebarkan agama Islam dengan mencampurkan tradisi yang sudah ada atau peninggalan agama Hindu dengan dicampur unsur Islami seperti sholawat dan doa-doa lainnya.


Manganan

Adat kebudayaan adalah cerminan identitas suatu daerah atau wilayah, pernyataan tersebut mengatakan secara tidak langsung bahwa apapun adat atau tradisi yang ada di daerah tersebut mencerminkan bagaimana keadaan atau sifat daerah itu. Hal itu berarti manganan sebagai salah satu budaya yang sampai saat ini masih dilestarikan adalah cerminan identitas kabupaten Bojonegoro. Mengingat fakta bahwa kebanyakan manganan dilaksanakan dengan cara non-Islami atau lebih condong ke arah Animisme seperti nenek moyang dahulu, apakah berarti identitas kabupaten Bojonegoro adalah kabupaten dengan kepahaman agama yang kurang ?. Tentunya sebagai warga Bojonegoro saya akan menyangkal kenyataan itu, tetapi tentunya kita tak mengubah sebuah tradisi yang telah mengakar kuat di masyarakat, apalagi hal ini bersangkutan dengan sistem kepercayaan.
Dengan mengabaikan sejenak pertanyaan pantas tidaknya tradisi manganan menjadi identitas kabupaten Bojonegoro, kita dapat menilik sisi positif dengan adanya tradisi manganan ini maupun itu dari nilai filosofis yaitu menghargai lingkungan. Hal itu sesuai dengan pendapat Eric R. Wolf tentang ketakutan petani terhadap kerusakan pada tanaman yang tengah digarapnya karena akan menimbulkan kerugian sehingga dengan adanya manganan ini, mereka mewujudkan rasa syukur atas hasil yang dipetik dari buah jerih payah para petani dengan adanya tradisi manganan yang menyatakan bahwa pandangan manusia terhadap alam disekitarnya diwujudkan dengan mereka berusaha bagaimana caranya agar alam yang memberinya penghidupan tersebut tidak rusak dan punah dimakan oleh bencana. Sehingga antara manusia dengan lingkungan terjadi ikatan emosional timbul oleh karena tindakan yang tersebut. Lalu dari nilai religius yaitu selalu bersyukur atas berkah yang telah diberikan Tuhan Yang Maha Esa, selanjutnya yaitu nilai sosial atau kemasyarakatan yaitu memupuk kebersamaan dan semangat gotong royong dengan adanya manganan semua warga desa turut hadir, bertemu dari yang semula belum mengenal hingga saling mengenal tentunya semua warga desa bergotong royong untuk menyiapkan ritual manganan ini ,lalu dengan diadakan manganan juga memberi pembelajaran saling berbagi berhubungan dengan sikap yang timbul ketika mereka menerima makanan yang telah dibagi adalah rasa senang. Apa pun yang telah mereka terima tetaplah menunjukkan rasa kebahagiaan. Bukan perasaan menggerutu terhadap makanan tersebut  karena mereka merasa kemampuan orang berbeda dalam mewujudkan makanan untuk ditukarkan dalam acara manganan.

Masyarakat dusun Gempol, desa Growok, kecamatan Dander, Bojonegoro - bojonegorokab.go.id

Tradisi yang bermacam-macam yang telah diwariskan nenek moyang sudah sepantasnya kita sebagai generasi penerus melestarikan tradisi tersebut, manganan sebagai sebuah tradisi yang memiliki aspek yang dipertanyakan mengenai cocok tidaknya manganan sebagai identitas Bojonegoro masih perlu dikaji lebih lanjut dan diperlukan tanggapan kritis dari warga Bojonegoro itu sendiri. Daripada secara paksa merubah sebuah tradisi yang mengakar kuat lebih baik merubah pemikiran dari pelaku tradisi itu sendiri, dalam artian warga desa yang kebanyakan melaksanakan manganan dengan cara non-Islami perlu diberi pemahaman lebih tentang melaksanakan tradisi dengan cara yang lebih baik. Dan seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya bahwa manganan memiliki banyak dampak positif jadi lebih baik menstruktur ulang tradisi manganan agar tradisi yang sarat manfaat ini menjadi identitas Bojonegoro yang tidak lagi diragukan ataupun dipertanyakan kebenarannya.

0 Cocotan Mu:

Posting Komentar

A call-to-action text Contact us