Adat kebudayaan yang
beraneka ragam di Indonesia khusunya yang ada di kabupaten Bojonegoro memang
sangat beragam, diantara ragam tradisi itu masih ada tradisi atau adat kebudayaan yang masih
lestari di desa atau perkampungan, apalagi di daerah desa yang ikatan tradisi
dan adat nya masih kental. Tradisi sedekah bumi (manganan) atau ada juga yang
menyebutnya dengan nyadran yang pelaksanaannya di setiap desa berbeda, ada desa
yang menyelenggarakan manganan dengan corak nenek moyang yang dahulu menganut
kepercayaan Animisme dan Dinamisme ada juga yang menyelenggarakan dengan corak Islami
atau dengan hasil akulturasi antara kebudayaan nenek moyang dengan ajaran Islam,
manganan yang dilaksanakan dengan corak asli dilakukan dengan menggunakan
sesaji sedangkan manganan yang dilakukan dengan cara Islami biasanya disisipi
pengajian. Dalam artikel ini akan dibahas bagaimana sedekah bumi (manganan)
sebagai tradisi peninggalan nenek moyang di tengah-tengah keadaan masyarakat
modern nan kritis ini dan juga bagaimana perkembangan tradisi sedekah bumi (manganan)
sebagai tradisi yang masih melekat di masyarakat Bojonegoro ini.
Para Ibu Yang Sibuk Tengah Mempersiapkan Jajanan Sedekah Bumi. Courtesy : http://blokbojonegoro.com |
Sejarah tradisi
manganan ini berasal dari generasi terdahulu, khususnya masyarakat petani yang
bersyukur atas hasil panen. Ciri khas perayaan manganan adalah umumnya diadakan
di tempat yang dianggap keramat. Tujuan dari pelaksanaan tradisi manganan
adalah mengucapkan syukur atas karunia Tuhan dari hasil panen, memohon agar
desanya terhindar dari bencana dan penyakit dan memohon agar panen selanjutnya
melimpah. Tetapi karena saat ini mayoritas masyarakat menganut agama Islam yang
melarang menyembah tuhan selain Allah S.W.T, jadi sekarang tradisi manganan
disisipi panjatan do’a kepada Allah S.W.T, karena diyakini
bahwa nenek moyang dulu masih menganut Animisme dan Dinamisme. Tetapi
kebanyakan desa di Bojonegoro masih menyelenggarakan manganan seperti yang nenek
moyang dahulu yaitu dengan mengucap mantra-mantra dan memberi sesaji. Masyarakat
desa berdalih karena untuk melestarikan tradisi persis dengan nenek moyang
terdahulu agar tradisi tersebut tidak luntur. Hal itulah yang membuat banyak
orang, khususnya orang yang paham dengan ilmu agama meragukan tradisi manganan
sebagai tradisi yang masih harus dilestarikan khususnya di daerah Bojonegoro
ini, karena tentu saja hal tersebut bertentangan dengan ajaran Islam yang
mengajarkan bahwa hanya Allah S.W.T sebagai tuhan yang patut disembah tetapi
melakukan manganan dengan menggunakan sesaji yang ditaruh di tempat keramat
sama saja mempersekutukan Allah.
Penyelenggaraan
manganan di suatu desa berbeda dengan desa yang lain meskipun dengan tujuan
yang sama, sebagai contoh : manganan di desa A dilakukan di tempat yang
dianggap keramat atau memiliki kekuatan magis seperti kuburan, sumur tua,
sendang, pohon tua, dll dengan menaruh sesaji yang diletakkan di tempat
tersebut lalu ada tokoh desa yang memimpin ritual biasanya dengan mengucap
mantra dalam bahasa daerah yang bermakna memohon keselamatan desa dan
keberkahan bagi desa, setelah itu akan diadakan pagelaran wayang atau
pementasan tari tayub, sedangkan pelaksanaan manganan di desa B dilakukan di
musholla atau masjid, di tengah-tengah ritual manganan di desa ini masyarakat
membaca doa-doa syukur kepada Allah. Dengan ilustrasi sederhana tersebut, dapat
dilihat perbedaan dalam pelaksanaan tradisi manganan ini walaupun sebenarnya
kedua masyarakat desa itu memiliki kesamaan budaya, kepercayaan dan berada
dalam satu daerah, lalu apakah yang menyebabkan perbedaan tata pelaksanaan
ritual manganan ?. Jika diselidiki dari tradisi manganan di masa lampau dan
perkembangannya, sebenarnya peran wali songo yang menyebabkan perbedaan
pelaksaan tradisi manganan, wali songo menyebarkan agama Islam dengan
mencampurkan tradisi yang sudah ada atau peninggalan agama Hindu dengan dicampur
unsur Islami seperti sholawat dan doa-doa lainnya.
Manganan |
Adat kebudayaan
adalah cerminan identitas suatu daerah atau wilayah, pernyataan tersebut
mengatakan secara tidak langsung bahwa apapun adat atau tradisi yang ada di
daerah tersebut mencerminkan bagaimana keadaan atau sifat daerah itu. Hal itu
berarti manganan sebagai salah satu budaya yang sampai saat ini masih
dilestarikan adalah cerminan identitas kabupaten Bojonegoro. Mengingat fakta
bahwa kebanyakan manganan dilaksanakan dengan cara non-Islami atau lebih
condong ke arah Animisme seperti nenek moyang dahulu, apakah berarti identitas
kabupaten Bojonegoro adalah kabupaten dengan kepahaman agama yang kurang ?.
Tentunya sebagai warga Bojonegoro saya akan menyangkal kenyataan itu, tetapi
tentunya kita tak mengubah sebuah tradisi yang telah mengakar kuat di masyarakat,
apalagi hal ini bersangkutan dengan sistem kepercayaan.
Dengan mengabaikan
sejenak pertanyaan pantas tidaknya tradisi manganan menjadi identitas kabupaten
Bojonegoro, kita dapat menilik sisi positif dengan adanya tradisi manganan ini
maupun itu dari nilai filosofis yaitu menghargai lingkungan. Hal itu sesuai
dengan pendapat Eric R. Wolf tentang ketakutan petani terhadap kerusakan pada
tanaman yang tengah digarapnya karena akan menimbulkan kerugian sehingga dengan
adanya manganan ini, mereka mewujudkan rasa syukur atas hasil yang dipetik dari
buah jerih payah para petani dengan adanya tradisi manganan yang menyatakan
bahwa pandangan manusia terhadap alam disekitarnya diwujudkan dengan mereka
berusaha bagaimana caranya agar alam yang memberinya penghidupan tersebut tidak
rusak dan punah dimakan oleh bencana. Sehingga antara manusia dengan lingkungan
terjadi ikatan emosional timbul oleh karena tindakan yang tersebut. Lalu dari
nilai religius yaitu selalu bersyukur atas berkah yang telah diberikan Tuhan Yang
Maha Esa, selanjutnya yaitu nilai sosial atau kemasyarakatan yaitu memupuk
kebersamaan dan semangat gotong royong dengan adanya manganan semua warga desa
turut hadir, bertemu dari yang semula belum mengenal hingga saling mengenal
tentunya semua warga desa bergotong royong untuk menyiapkan ritual manganan ini
,lalu dengan diadakan manganan juga memberi pembelajaran saling berbagi
berhubungan dengan sikap yang timbul ketika mereka menerima makanan yang telah
dibagi adalah rasa senang. Apa pun yang telah mereka terima tetaplah
menunjukkan rasa kebahagiaan. Bukan perasaan menggerutu terhadap makanan tersebut karena mereka merasa kemampuan orang berbeda
dalam mewujudkan makanan untuk ditukarkan dalam acara manganan.
Masyarakat dusun Gempol, desa Growok, kecamatan Dander, Bojonegoro - bojonegorokab.go.id |
Tradisi yang
bermacam-macam yang telah diwariskan nenek moyang sudah sepantasnya kita
sebagai generasi penerus melestarikan tradisi tersebut, manganan sebagai sebuah
tradisi yang memiliki aspek yang dipertanyakan mengenai cocok tidaknya manganan
sebagai identitas Bojonegoro masih perlu dikaji lebih lanjut dan diperlukan
tanggapan kritis dari warga Bojonegoro itu sendiri. Daripada secara paksa
merubah sebuah tradisi yang mengakar kuat lebih baik merubah pemikiran dari
pelaku tradisi itu sendiri, dalam artian warga desa yang kebanyakan melaksanakan
manganan dengan cara non-Islami perlu diberi pemahaman lebih tentang
melaksanakan tradisi dengan cara yang lebih baik. Dan seperti yang sudah
dijelaskan sebelumnya bahwa manganan memiliki banyak dampak positif jadi lebih
baik menstruktur ulang tradisi manganan agar tradisi yang sarat manfaat ini
menjadi identitas Bojonegoro yang tidak lagi diragukan ataupun dipertanyakan
kebenarannya.